Saturday 21 July 2012

Otak dan musik

oleh : Fritz Sumantri Usman Sr ( Dokter-Penikmat musik ) 


Pendahuluan
Musik merupakan suatu bentuk kebudayaan yang beberapa dekade terakhir sangat aktif diangkat dan dijadikan suatu bentuk terapi , di beberapa negara sudah banyak didirikan pusat pendidikan dan pelayanan musik, terkait dengan beberapa kondisi dari suatu penyakit khususnya di bidang neurologi. Dan tidak hanya secara institusional pelayanan musik diberikan, namun saat inipun sudah semakin banyak individu individu yang meng”kreasikan” sendiri musik atau lagu yang dapat mempengaruhi dan merangsang mood mereka, sehingga aktivitas pagi hari dapat dimulai dengan lebih menyenangkan dan efektif dalam membangkitkan rasa optimisme,percaya diri dan ketenangan , dimana ke tiga perasaan tersebut yang secara umum ternyata dapat dibangkitkan bila kita mendengar musik atau lagu lagu tertentu ( kondisi ini sangat individual, silahkan masing masing dari kita mencari tahu lagu lagu apa saja yang dapat memberikan pengaruh positif pada mood kita)1. Seperti kita ketahui , betapa musik memiliki arti positif dalam mempengaruhi perasaan yang ada dalam diri seseorang1, terlepas bahwa ada beberapa kondisi dimana musik memberikan pengaruh buruk seperti pada keadaan musicogenic epilepsy ( epilepsy yang dipicu saat mendengarkan music ) , musical partial seizure ( halusinasi mendengar suara music sebagai manifestasi dari epilepsy non kejang ) music release hallucination ( seolah olah mendengar suara music, salah satu kondisi gangguan psikiatri ) , sinesthesia ( halusinasi melihat suatu warna pada saat mendengarkan music tertentu ), dan amusia ( gangguan dalam menentukan pengenalan nada serta irama music )2, namun secara garis besar dan umum , kita sama sama menerima bahwa musik merupakan suatu bentuk media yang sangat baik untuk mempengaruhi mood seseorang, sehingga dipergunakan sebagai terapi, baik itu sebagai terapi adjuvant maupun restorasi untuk beberapa penyakit saraf seperti Parkinson, amnesia, rehabilitasi stroke dan banyak lagi 3. Artikel ini akan menceritakan bagaimana music yang kita dengar, akan diolah oleh bagian bagian tertentu dari otak kita hingga dapat menciptakan perasaan yang menyenangkan kita.


Pembahasan
            Musik, merupakan salah satu bentuk kebudayaan tertua yang pernah lahir di bumi ini . Tanpa kita sadari musik telah tercipta saat bunyi bunyian diciptakan, baik itu sebagai bentuk komunikasi maupun hiburan , dan yang lebih menarik , ternyata eksistensi musik sudah dari awal sangat dekat dengan dunia ilmiah bahkan kedokteran, karena Pthytagoras menemukan salah satu pemahaman awal matematika tentang amplitudo dan frekuensi melalui Lyra yang ia petik , dan yang lebih menarik lagi  Dewa Apollo ( salah satu dewa utama bangsa Yunani ), tidak hanya merupakan dewa di bidang pengobatan, namun juga dewa di bidang musik.4
Bahkan perkembangan agama agama besar yang ada di dunia ini, tidak terlepas dari ciri dan eksistensi masing masing bentuk musik yang mereka miliki seperti Raagas ( Hindu ), Amitabha Sutra ( Budha ), chant Gregorian ( Nasrani ), Tajwid dan Adzan yang dikumandangkan ( Islam ) semuanya merupakan doa ataupun pujian yang diucapkan membentuk irama yang indah4. Kesemua hal menarik tersebut, bagaikan magnet, semakin menarik kita untuk mengerti bagaimana musik di proses dari sebuah bentuk bunyi bunyian  hingga akhirnya dapat mempengaruhi perasaan / mood seseorang 4,5.
Awalnya , bunyi bunyian yang masuk ke telinga kita ditangkap oleh kokhlea, dimana frekuensi  suara rendah akan merangsang sel sel di daerah apeks sementara bunyi dengan frekuensi tinggi akan ditangkap di dasar kokhlea. Kemudian, melalui jaras saraf vestibulo kokhlearis, impuls tersebut menuju nukleus kokhlearis ventralis di daerah medula oblongata, kemudian dilanjutkan menuju kolikulus inferior di batang otak melalui jaras lemniskus lateralis, selanjutnya dari kolikulus inferior impuls suara musik tadi akan diteruskan ke daerah brakium kolikulus inferior lalu ke korpus genikulatum medialis dan terakhir di terima di daerah lobus temporalis superior,  dan mulailah musik mempengaruhi berbagai macam bagian bagian di dalam otak kita , seperti amigdala, tegmentum, striatum , lobus temporal superior, daerah prefrontal dan beberapa bagian lainnya, seperti gyrus Heschl yang berperan dalam pengenalan musik yang pernah didengar 6.
Dari hasil penelitian menggunakan fMRI dan PET scan, didapati bahwa pada saat kita menikmati music yang kita dengar , maka ventral tegmentum area ( VTA ) akan menghasilkan dopamine yang kemudian mempengaruhi area kesenangan kita yaitu amigdala dan nucleus akumbens, dimana semakin intens dan terhanyut kita akan musik yang sedang kita dengarkan semakin giat pulalah ke 2 area tersebut bekerja, walaupun ternyata tidak hanya musik saja yang mampu membuat kedua area tersebut “menyenangkan kita”, sensasi erotis cinta dan addiksi pun menempuh jalur yang sama seperti halnya musik 7.
Kemudian, ada satu hal yang menarik, pada saat membicarakan Mozart effect atau Bethoven effect, dimana kabarnya komposisi dari kedua jenius tersebut yang paling optimal dapat mengaktifkan dan menstimulus lebih banyak area di sistem limbik dibanding karya komposer lainnya ataupun lagu pop biasa, karya karya Ludwig von Bethoven seperti  String Quartet in C-sharp minor, Op. 131 atau karya Wolfgang Amadeus Mozart seperti night music no 1, serenande no 10 in B major, Ah , Vous direi-JC, simfonie in D, rando in C major, seringkali di rekomendasikan sebagai komposisi musik yang baik untuk menstimulus respons otak. Bahkan komposisi klasik popular seperti Air dari Johan Sebastian Bach, dimana alunan melodi dan nuansa yang dibangunnya sangat indah dan menyentuh ruang ketenangan kita, ternyata bila dibandingkan dengan komposisi komposisi Mozart dan Bethoven kurang optimal dalam menstimulus ke optimalan dari kerja otak kita 8. Pertanyaan tersebut membuat kita berfikir , mengapa otak kita lebih menyukai partitur ataupun alunan musik yang “tidak terduga”, cenderung upbeat,  tanpa pengulangan bagian bagian dari komposisi, mengapa otak kita lebih menyukai suatu komposisi yang didalamnya terdapat perubahan tempo yang signifikan, dengan kata lain dan secara umum kita dapat mengatakan mengapa musik Mozart dan Bethoven lebih baik dalam menstimulus otak kita dibanding lagu pop yang lebih menyenangkan perasaan kita 8.
Ternyata hal tersebut juga dipikirkan oleh Leonard Meyer , didalam bukunya Emotion and meaning in music. Di buku itu, Meyer menuliskan bahwa setelah melakukan penelitian dari lebih 200 sampel didapatkan bahwa pada saat amygdala dan nucleus akumbens sedang berada dalam pengaruh dopamine yang tinggi, dibagian lain, nucleus caudatus bekerja menciptakan suatu fase yang bernama fase antisipasi. Fase ini timbul sebelum kita merasakan klimak dalam mendengarkan suatu music/lagu/komposisi, dan bila klimaks itu tercapai maka musik yang kita dengarkan di akhir lagu selain akan menimbulkan sensasi yang menyenangkan , menenangkan, membuat semangat juga meningkatkan metabolisme di otak kita melalui mekanisme vasodilatasi sistemik dari pembuluh darah otak. Lalu bagaimana bila musik yang kita dengarkan terdengar monoton, kemudian bagian bagiannya diulang seperti halnya pakem lagu pop saat ini dimana selalu ada intro,chorus I, chorus II, refrain,bridge,chorus (lagi), refrain,refrain dan ending, ternyata fase antisipasi tidak akan terjadi atau minimal, sehingga yang ada hanyalah sensasi yang menyenangkan , menenangkan, membuat semangat tanpa atau minimal meningkatkan metabolisme di otak 8,9. Keuntungannya adalah , orang orang dengan kesadaran penuh, dengan membangun imajinasi dan kenangan akan suatu musik / lagu tertentu dapat menciptakan fase antisipasi ini, namun hal tersebut tidak berlaku pada bayi maupun orang dengan derajat kesadaran yang rendah hingga minimal 10. Dan pada saat fase antisipasi ini telah terlampau dan kenikmatan kita dalam mendengarkan musik tercapai, tubuh pun merelease endorphin sebagai adjuvant betapa indahnya musik yang kita dengarkan 8,10.

Penutup
            Demikianlah sedikit tulisan mengenai hubungan otak kita dan musik yang kita dengarkan . Mendengarkan musik, walaupun sekilas merupakan aktivitas yang sederhana , selain dapat memberikan mood positif, juga mampu meningkatkan dan menstimulus kerja dari otak kita. Jaras sistem pendengaran beserta area pendengaran di otak, beberapa bagian dari sistim limbik, are pre frontal, merupakan daerah daerah yang berperan aktif dalam menterjemahkan alunan musik yang kita dengarkan, hingga dapat menimbulkan sensasi sensasi yang berpengaruh pada perasaan dan alam pikir kita.

Daftar Pustaka : 
Daftar Pustaka :
  1. Sachs O, Brust JC. Musical Examples, clinical tales. In Levietin D,editor. This is your brain on music. Plume 2007, vol 8(7), pg 41
  2. Brust JC. Music and the neurologist . A Historical Perspective. Ann N Y Acad Sci. 2001 Jun;930:143-52
  3. Arias GM. Music and Neurology. Neurologia. 2007 Jan-Feb;22(1):39-45
  4. Arrezzo G. Between myth and history. In Mengozzi S, editor. The renaissance reform of medieval music theory. Cambridge;Cambridge University Press, 2010, pg 286-9
  5. Perretz I, Zatorre RJ. Brain organizing for music processing. Annu Rev Psychol. 2005;56:89-114
  6. Fix JD. Auditory system in Neuroanatomy. William & Wilkins 1992, ed. 2, pg 147-150
  7. Besson M,Schon D,Moreno S,Magne C. Influences of musical expertise and usical training on pitch processing in musical and language. Restor Neurol Neurosci. 2007;25(3-4):399-410
  8. Lehner J. The neuroscience of music. Available at : http://www.wired.com/wiredscience/2011/01/the-neuroscience-of-music/
  9. Trainor LJ, Shahin AJ, Roberts LE. Understanding the benefits of musical training : effect on oscillatory brain activity. Ann N Y Acad Sci. 2009 Jul;1169:133-42
  10. Corrigal KA, Trainor LJ. Effect of musical training on key and harmony perception. Ann N Y Acad Sci. 2009 Jul;1169:164-8


Penulis adalah seorang neurologist dan interventional neurologist yang bekerja di
RSUP Fatmawati Jakarta dan National Brain Centre Hospital Jakarta.
Korespondensi : fritz.sumantri@gmail.com




Indication and Complication of Cerebral Digital Subtraction Angiography: A first experience from Indonesia

oleh :
Fritz Sumantri Usman, SpS,FINS
Achmad Firdaus Sani,SpS,FINS
Shakir Husain MD,DM,FINR


Abstract
Objective: To know neurology complication incidence on cerebral digital substract angiography procedure conducted by neuro-interventionist.
Methodology: This research has been approved by the Ethical Committee. Each patient signed informed consent form. This research was conducted from January 2009 until December 2011. The patient’s demography characteristics, the procedural details as well as complication that has appeared during and after the procedure has been documented. The complication examined by other neurologist.
Result: from 200 patients who have received the procedure, permanent neurology complication was found at 1 (0,50 %) patient. Neither reversible nor transient neurology complication was found.
            Conclusion: cerebral digital subtract angiography procedure conducted by neuro interventionist in Jakarta Indonesia is relatively save, both from neurology complication aspects, non-neurology complication and death number.
Keywords : cerebral Angiography – safety – complication - Indonesia

Abstrak
Objektif : Untuk mengetahui insiden terjadinya komplikasi neurologi dari prosedur Cerebral Digital Substract Angiografi yang dilakukan oleh seorang neuro intervensi.
Metodologi : Penelitian ini telah melewati uji etik dan pengesahan komite medik dari tempat penelitian ini dilakukan, setiap pasien menandatangani inform consent terkait prosedur dan penggunaan data data untuk kepentingan peneliti. Penelitian ini dilakukan mulai dari Januari 2009 hingga Desember 2011. Kemudian dicatat karakteristik demografi pasien, rincian proses prosedur termasuk ada tidaknya komplikasi yang timbul baik selama atau setelah dilakukan prosedur yang dinilai oleh seorang neurologist selain peneliti .
Hasil : dari 200 pasien yang telah menjalani prosedur Cerebral Digital Substract Angiografi , komplikasi neurologi yang bersifat permanen terjadi pada 1 kasus ( 0,50 % ) . Tidak didapatkan komplikasi yang bersifat reversibel ataupun transient dalam penelitian ini .
Kesimpulan : Cerebral digital substract angiografi yang dilakukan oleh seorang neuro intervensi di Jakarta Indonesia adalah relative aman, baik dalam hal komplikasi neurologi, komplikasi non neurologi maupun angka kematian .

Kata kunci : Angiografi cerebral – keamanan – komplikasi – Indonesia

Complete journal and PDF version please download for free of charge : ( copy paste link below ) 
http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/05/Frizt-Sumantri.pdf



Interventional approach : management of Ischaemic Stroke

oleh : Fritz Sumantri Usman Sr ( Neurologist - Interventional Neurologist )


Abstract

Stroke gave a big number as cause of the death and a leading cause of severe and disability in any kind part of the world. Ischaemic stroke showed a rise and a fall number due to vascular disease. From Interventionalist approach, we gave comprehensives therapy for Ischaemic stroke by Revascularization by thrombolysis therapy in acute phase and intracranial or intracarotid stenting to prevent secondary stroke.

Keywords: Ischaemic stroke ¨C revascularization ¨C intracarotid and intracranial stenting

Abstrak


Hingga saat ini , stroke masih merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan terbesar di berbagai belahan dunia . Angka kejadian stroke iskemik sendiri amat bervariasi , namun pada dasarnya memiliki pola untuk mengikuti angka kejadian penyakit penyakit yang mengenai pembuluh darah . Para interventionalist mencoba untuk menyumbangkan gagasan mengenai penatalaksanaan stroke iskemik secara menyeluruh dengan cara revascularisasi , dengan metode thrombolisis pada fase akut stroke iskemik ; dan dengan melakukan stenting pada pembuluh darah karotis dan pembuluh darah di dalam otak .

Kata kunci : Stroke iskemik ; revascularisasi ¨C stenting pembuluh darah karotis dan
                    intrakranial

Introduction

            Stroke is the third most common cause of the death and a leading cause of severe and disability in both developed and developing countries. The burden of stroke is becoming greater as the population ages, and making its prevention is a must priority.1   A several modalities could become a factors for stroke induced, modifiable or unmodifiable, and family history (A sibling history of stroke increased the likelihood of a more severe stroke).2
            Unlike Hemorrhagic stroke, Ischaemic stroke showed a rise and a fall, mirroring the vascular heart disease pandemic. These different secular trends indicate that the risk factors for the two type of factors could be differ.1 In Japan, even though concentration of blood cholesterol rose up to 1980s, rise of Ischaemic has fallen dramatically.3
So many trial and study continuous to explore and recognized a lot of multifactor caused stroke, especially Ischaemic stroke, so many drug i.e. antiplatelet or anticoagulant found , to prevent recurrent or first time attack. The newest one named Ximelagatran (contain active agent melagatrant), anticoagulant (direct thrombin inhibitor) that has been investigated extensively as a replacement for warfarin, that would overcome the problematic dietarydrug interaction, and monitoring issues associated with warfarin therapy,4 but the question about how to manage ischaemic stroke in acute phase and how to prevent its, still being the most debate and curious topics for discuss.
In interventionalist approach, there are two main aspects that we have to think to give a comprehensive serve in ischaemic stroke management, revascular assessment by thrombolytic drugs and secondary preventing stroke by intracranial or intracarotid stenting.


I. Revascular Assessment
            In acute phase of Ischaemic stroke, the most important action is revascularization by thrombolytic therapy in some condition. We have to give a marked in ¡°condition¡± word because there are still many criterias (which despite patient into exclusion and inclusion candidates) for consider before we give the patient a thrombolytic therapy.5
 Two parameters which become important criteria of this action are recanalization of occlusion artery and global reperfusion from a distal part.6 The aim of that action is to prevent spread of ischaemic area and reduce the risk of hemorrhagic transformation.7    
For revascular assessment we use a lot of variant of thrombolytics, even though FDA proved rtPA as a major thrombolytic8, unless for elderly stroke patients ( up 80 years old ) and another conditions else,9 so many specimen become profitable to use as a single therapy or combined.8,9
So, when didi we have to give trombolytic therapy? Although the traditional use of intravenous (IV) thrombolytics is restricted to within 3 hours of Ischaemic stroke onset, the use of intraarterial (IA) therapy is proving to be more flexible, with the ultimate time window yet to be determined, above that methods, local/selective intra arterial thrombolytic who gave by an interventionists, become the best way to reduce risk of hemorrhage.10
A combination between thrombolytics therapy which was given by intravenous and intraarterial gave a better functional outcome compare than placebo in a several studies. The next question is: is it safe to give intra arterial thrombolysis after intravenous thrombolysis?, the answer is appear safe if persisting occlusion and /or lack of clinical improvement appears.11
 Intraarterial urokinase (10,000 ¨C 20,000 iu/minutes) and  abciximab intravenous (0.25 mg/kgBW as a bolus, then continue with 0.125 microgram/kgBW/minutes) have a better outcome compare than urokinase only.12  RtPA (IV) and pro urokinase (IA) give a better outcome and reduce the mortality if compare with placebo even it is not statistically significant.13 Tirofiban (IV), dose 0.4 microgram/kgBW/minutes  give as a bolus for 3 minutes follows by tirofiban 0.1 micrograms/kgBW/minutes combined with heparin 2500-3000 IU for 30 ¨C 80 minutes  (IV) then Urokinase 300 thousand ¨C 600 thousand IU could give a very good outcome and promising, even more trials are still needed, with  sample and randomized trials.14 A combination of mechanical clot retrieval and adjunctive thrombolytic therapies in 111 patients participating in the multi MERCI trial resulted in successful recanalization in 69% of vessel versus 54% with the retriever alone. The Preliminary result of the IMS II trial indicated that the MicroLysus ultrasound device (EKOS corp) may improve recanalization rates compared with the standard microcathether techniques. Multimodal therapy combining IV or IA abciximab and intracranial angioplasty has been reported to achieve high recanalization rates, and preliminary experience with intracranial stenting in acute stroke suggest that this may be an attractive adjunct to IA thrombolytic. A retrospective review of 168 patients treated with a combination of IA thrombolytic and mechanical interventions reported recanalization in 63% and improvement in NIHSS of at least 4 points in 21% of patients at 24 hour follow up.10 
            For the Basilar Artery occlusion, which invariably leads to death or long-term disability if not recanalyzed, intraarterial or intravenous thrombolytics, could reach a good outcome. Lindsberg in a systematic analysis comparing intraarterial and intravenous thrombolysis of Therapy of Basilar Artery Occlusion shows recanalization occurs in more than half patients treated with Intraarterial or intravenous thrombolytics (65% and 53%), and an equal survival rates (45%-50%). Without recanalization, the likelihood of good outcome was close to nil (2%).14

II. Secondary prevent of stroke by intracranial and carotid stenting
            In patients who have symptomatic intracranial Atherosclerosis or stenosis  and who have suboptimal results of medical management using antiplatelet agent or anticoagulant to prevent stroke develop, use of intracranial or carotid stenting can make this disease less debilitating by improving cerebral perfusion, by reducing the risk of thrombosis / embolic event  or by both action .8
            Over the past years, the results of 4 large extra cranial carotid angioplasty (CAS) investigations have been reported. The industry supported ARCHeR and BEACH registries of non randomized, symptomatic and asymptomatic patients at high risk for carotid endarterectomy found 30 day stroke or death rates of 6,9% and 5,8% respectively, and ARCHeR reported a 1 year composite outcome including myocardial infarction of 9,6%.10
            Cerebrovascular embolization and hemodynamic changes after CAS continue to be investigated. Changes on diffusion-weighted MR images are seen less often with the use of embolic protection devices, but can still be seen in up to 42% patients in the distribution of the stented artery.10, 12
            Preprocedural use of statins in CAS patients may lower the 30-day risk of stroke, myocardial infarction or death. And patients undergoing CAS are pre-treated with antiplatelet agents and the procedure itself is performed under local anesthesia via the femoral artery. The patient is systemically heparins and the carotid artery catheterized. Some centers use clopidogrel and aspirin maintain for three months.10, 13
            Perforator strokes after intracranial angioplasty and stenting were found in 3% of patients, with pre existing stroke adjacent to the stenotic segment with greatest risk of symptom exacerbation. A new, self expanding intracranial stent for Atherosclerosis treatment (Wingspan, Boston Scientific) has shown initial promise in small number of patients.10
            The vertebral artery stenting become interesting in case of the vertebral artery origin. Because it is difficult to access surgically, and recognized surgical risk, include the development of a Horner¡¯s, lymphatic injury, thrombosis, and laryngeal nerve injury; so endovascular treatment plays its role as for CAS. The immediate goal is to obtain < 50% residual stenosis, no deficit and resolution of symptoms. Technical success is high and estimated at 94%-98%. Procedure related complications are rare at 0-6% and include stroke and arterial dissection.14, 15

Conclusion

            There are two problems which become important for acute ischaemic stroke. Revascularization and prevent for stroke or second stroke. Interventional neuro-radiology offers a very good pathway in that case; offers thrombolysis therapy and intracranial and carotid artery stenting. The update of that management still and keep studying to find more improvement and reach a better goal for acute Ischaemic stroke management.

References
1.      Shah E et al. Serum cholesterol,haemorhagic stroke, ischaemic stroke, and myocardial infarction : Korean  national health system prospective cohort study. BMJ 2006 ; 333 : 22
2.      Meschia JF et al. Family history of stroke and severity of neurologic deficit after stroke Neurology  2006;67:1396-1402
3.      Kubo M. et al. Trends in the incidens, mortality and survival rate of cardiovascular disease in a Japanesse community. The Hisayama Study. Stroke 2003 ; 34 : 2349-54
4.      Akins PT et al. Secondary stroke prevention with Ximelagatran versus Warfarin in patients with atrial fibrillation. Pooled analysis of SPORTIF III and V clinical trials.      Stroke 2007 (published Jan 7 , 2007) doi:10.1161/01.STR.0000258004.64840.0b
5.      Cloft HJ,Joseph GJ,Dion JE. Risk of cerebral angiography in patients with subarachnoid  hemorrhage, cerebral aneurysm, and arteriovenous Malformation. Stroke 1999;30:317-320
6.  Khatri P et al. Reperfusion versus rekanalisation. Stroke 2005 ; 36: 240
7.  Furlan AJ. Interventional therapy in acute stroke. AAN 2003 in CD ROM format
8.  Liu AY. Update in interventional neuroradiology. The Permanent Journal 2006; 10:1
9. Engelter ST,Bonati LH,Lyrer PA. Intravenous thrombolysis in stroke patients of ¡Ý 80    versus <80 years of age, a systematic review across cohort studies. Age and Ageing 2006;35(6):572-580
10. Pelz D et al . Advance in interventional neuroradiology 2006 . Stroke 2007 (published online Jan 2007) doi: 10.1161/01.STR.0000254713.97631.d3
11. Shaltoni HM et al. Is intra-arterial thrombolysis safe after full-dose intravenous recombinant tissue plasminogen activator for acute ischemic stroke? Stroke 2007;38:80
12. Lee DH. Local intra arterial urokinase thrombolysis of acute ischaemic stroke with or without intravenous abciximab: a pilot study. Journal of Vascular and Interventional Radiology 2002;13:769-774
13. Flaherty ML, et al. Combined IV and intra-arterial thrombolysis for acute ischemic stroke. Neurology 2005;64:386-388
14. Mangiafico S, et al. Tirofiban intravenous and urokinase intraarterial in management stroke by  trombolisis. Stroke 2006;36:2154
15. Lindsberg PJ,Mattle HP. Therapy of basilar artery occlusion . Stroke 2006; 37:922.



Malformasi Arteri Vena pada kulit kepala

oleh : Fritz Sumantri Usman ( Neurologist - Interventional Neurologist )


Abstrak
Malformasi arteri vena kulit kepala adalah kasus yang jarang terjadi namun telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu. Gambaran kasus ini adalah terdapatnya tonjolan lunak subkutan, besar, dan berdenyut. Kasus ini didapat secara congenital, dan keluan utama pasien adalah dalam hal kosmetik, perdarahan yang seringkali berulang, nyeri kepala yang pulsatil dan tinnitus . Alat pembantu diagnosa yang paling akurat untuk mendiagnosanya adalah cerebral digital substract angiography , dan terapi yang tersedia untuk tatalaksana kasus ini adalah embolisasi neuroendovascular terapi, pembedahan, radioterapi stereotaktik ataupun kombinasi dari masing masing terapi diatas .
Kata kunci : malformasi arteri vena – angiografi – neuroendovascular embolisasi

Abstract.
Arteriovenous malformation of the scalp are relatively rare vascular lesion but known for a century . Ppresent as an innocuous  looking subcutaneous scalp lump or a large, grotesque, and pulsatile mass. Scalp AVM are congenital. Major clinical manifestation are cosmetic, massive recurrent hemorrhage, pulsatile and throbbing headache, and tinnitus. Cerebral digital substract angiography which was the gold standard for diagnosed. For theurapeutical purpose, patient might undergo neuroendovascular embolization, surgery, stereotactic radiotherapy or combination.
Keywords : arteriovenous malformation – angiography – neuroendovascular embolization



Pendahuluan
            Malformasi arteri vena pada kulit kepala sudah ada sejak berabad abad yang lalu dan merupakan kasus yang amat jarang terjadi . Bila prevalensi malformasi arteri vena intra dan ekstra kranial berkisar antara angka 2-6% dari jumlah populasi yang diteliti , maka prevalensi malformasi arteri vena pada kulit kepala hanyalah berkisar antara 6-10% nya.1
            Keunikan lainnya dari malformasi arteri vena pada kulit kepala ini  adalah bahwa penyakit ini memiliki banyak sekali terminology ; selain malformasi arteri vena kulit kepala ( scalp AVM ) , penyakit ini juga dikenal sebagaiarteriovenous aneurysm, cirsoid aneurysm, racemose aneurysm, aneurysm by anastomosis ,plexiform angioma, aneurysmal varix, arteriovenous fistula, abnormal arteriovenous communication, dan malformasi arteri vena ekstra kranial .1-2
            Legenda perang dari jaman Yunani Gorgons , yang dalam penggambarannya memiliki kepala yang dilingkari oleh ular , diperkirakan memiliki dan merupakan salah satu contoh penggambaran dari penyakit ini.1



Etiology.
            Sama seperti etiology kasus kasus malformasi arteri vena  lainnya ; maka sebagian besar penderita kasus ini telah memilikinya sejak saat mereka dilahirkan , dan beberapa etiology lain dapat memberikan sumbangan peran dalam kasus ini , walaupun jumlahnya amat kecil . Secara lengkap , etiology dari malformasi arteri vena kulit kepala ini adalah :
  1. Kongenital.1
Seperti sudah diterangkan diatas, penderita dari kasus ini sudah mendapatkannya sejak mereka dilahirkan . Dan seringkali juga terjadi bahwa pada saat saat awal setelah dilahirkan , tidak terdapat tanda tanda abnormalitas lokal , namun seiring dengan pertambahan umur maka malformasi inipun berkembang semakin besar Timbulnya malformasi secara kongenital dapat diterangkan dengan 3 dugaan mekanisme berikut ini :
    1. Agenesis dari hubungan arteri-vena-kapiler yang menetap, dimana terjadi kegagalan dari pemisahan arteri vena kapiler di tempat kejadian pada minggu ke 4 setelah gestasi.
    2. Didahului dengan adanya vascular hamartoma yang kemudian berkembang menjadi malformasi arteri vena
    3. Timbulnya fistula pada saat terjadinya proses crossing antara arteri dan vena di tempat kejadian .
  1. Trauma.3
Baik trauma dengan bentuk penetrasi maupun non penetrasi, dapat menyebabkan timbulnya malformasi arteri vena kulit kepala, dimana trauma pada mulanya akan menimbulkan fistula pada arteri vena yang berjalan beriringan dan kemudian berkembang menjadi malformasi arteri vena.
  1. Infeksi dan inflamasi 3,4
Walaupun infeksi dan inflamasi merupakan suatu proses penyakit yang amat sering terjadi , namun keduanya jarang sekali menyebabkan malformasi arteri vena.
  1. Genetik.3-4
Suatu kejadian yang amat sangat jarang terjadi, namun pernah ditemukan di sebuah keluarga di jazirah Persia .

Klasifikasi 6
            Secara umum , pengkasifikasian dari kasus ini mengikuti system klasifikasi malformasi arteri vena pada umumnya, yaitu dengan menggunakan skala Spetzler Martin, dimana dimana rentang hasil dari skala tersebut berkisar antara 1-5, dan semakin tinggi angka yang didapat dari perhitungannya,menandakan semakin buruknya hasil keluaran dari penatalaksanaan yang akan dilakukan, baik itu secara interventional maupun pembedahan.


Tabel 1. Skala pengklasifikasian malformasi arteri vena menurut Spetzler Martin
Ukuran dari malformasi
Keterlibatan area otak
Drainase vena
Kecil (< 3 mm)     --à    1 
Tidak ada keterlibatan   -à 0
Hanya vena superficial     --à0   
Sedang (3-6mm)   --à    2
Ada keterlibatan            -à 1
Hingga vena profunda     -à 1
Besar ( > 6 mm)    --à    3



Predisposisi dan predileksi 1,10
            Dalam berbagai literatur didapatkan fakta bahwa pria lebih banyak menderita kasus ini ( sekitar 55 – 65% ), dan tempat kejadian yang paling sering adalah daerah frontal,temporal, dan oksipital. Dan pembuluh darah utama yang seringkali menjadi feeder adalah A. Temporalis Superficialis, dan A. Oksipitalis.

Manifestasi klinis 1,10
            Dalam perjalanannya, malformasi ini akan semakin besar, sehingga alasan utama penderita datang kepada dokter adalah untuk alasan kosmetik. Selain itu, malformasi yang semakin membesar tersebut juga memberikan keluhan berupa perdarahan, nyeri kepala, nyeri local yang pulsatil, dan tinnitus . Pernah dilaporkan terjadinya papil edema sekunder, namun hal itu sangatlah jarang.

Pemeriksaan diagnostic 7-9
            Pemeriksaan gold standard untuk semua kasus kasus malformasi arteri vena termasuk yang berlokasi pada kulit kepala ini adalah cerebral digital substract angiography ( Cerebral DSA ), karena dengan menggunakan  C DSA kita dapat melihat dan mempelajari dengan jelas  pembuluh darah arteri yang menjadi feeder, drainasi vena, serta besar diameter nidus guna kepentingan pengklasifikasian ( lihat skala pengklasifikasian Spetzler Martin ).

Terapi 10-11
            Penatalaksanaan dari kasus ini biasanya tidak mudah, dikarenakan beberapa factor seperti malformasi yang terjadi biasanya bersifat high flow, kompleksitas dari pembuluh darah yang terlibat, dan masalah kosmetis.
Beberapa pilihan terapi dapat dilakukan dalam penatalaksanaannya, diantaranya :
  1. Neuroendovascular embolisasi .
Penatalaksanaan ini berprinsip “menyumbat / menutup” nidus dan drainasi vena, dengan menggunakan beberapa bahan “penyumbat”, seperti sejenis lem yang merupakan campuran dari n-butyl cyanoacrylate yang dicampur dengan lipiodol, partikel polyvinyl Alcohol, senyawa polimer likuid non adhesive yang merupakan senyawa dari ethylene-vinil alcohol copolymer dengan dimethyl sulfoxide (dengan nama dagang onyx), ataupun koil embolization.
Keuntungan : keuntungan dari tindakan ini adalah secara signifikan dapat menurunkan blood flow yang menuju nidus, sehingga akan menperkecil malformasi yang telah timbul dan diharapkan akan menghilang dengan perjalanan waktu. Selain itu , embolisasi tidak akan merusak jaringan otak yang terlibat, sehingga akan memperkecil resiko terjadinya efek samping pasca embolisasi.
Kerugian : prosedur ini tergolong invasive, dan resiko tindakan yang terjadi hamper sama dengan pembedahan, yaitu terjadinya  stroke iskemik, perdarahan di ruang subaraknoid ataupun intra cerebri. Selain itu, bila salah salah memilih jalan pembuluh darah mana yang akan dijadikan tempat untuk melepaskan bahan penyumbat, kemungkinan rupture malformasi pasca embolisasi akan dapat mengancam.
  1. Pembedahan
Melalui kraniotomi, akan dilakukan pengangkatan dari nidus yang ada ,atau bila tidak memungkinkan dilakukan ligasi feeding artery.
Keuntungan : tindakan ini menjanjikan hilangnya malformasi secara cepat dan tepat, dan sangat baik bila digunakan sebagai penatalaksanaan malformasi skala 1-4, namun tidak untuk yang memiliki skala 5-6.
Kerugian : efek samping dari tindakan pembedahan adalah terjadinya stroke iskemik, perdarahan, dan ikut terangkatnya jaringan otak tempat dimana lokasi malformasi “bermukim”.
  1. Pembedahan stereotaktik radioterapi
Keuntungan : tindakan ini non invasive, dan dapat menjangkau semua tempat malformasi di lokasi yang mat sulit sekalipun.
Kerugian : tindakan ini seringkali harus diulang dalam 2-3 tahun setelah tindakan pertama, agar malformasi dapat hilang total . Selain itu , pernah dialami oleh penulis, dimana pada 2 kasus pasca radiasi, dapat memicu timbulnya malformasi baru di lokasi yang baru pula.
  1. Kombinasi terapi
Terapi kombinasi, kadang diperlukan untuk memudahkan reseksi total dan mengurangi resiko perdarahan hebat yang timbul . Biasanya dilakukan embolisasi terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan dengan pembedahan ataupun radioterapi.

Prognosis
            Bila dilakukan dengan tepat, maka malformasi arteri vena kulit kepala dapat memenuhi harapan yang diinginkan pasien, dimana semua manifestasi klinis yang dirasakan dapat hilang, dan secara kosmetik tidak mengganggu penampilannya . Namun kerjasama dari interventional neurologist, neurologist, bedah saraf dan neuroradiologist, amatlah penting untuk memilih tata laksana mana yang paling optimum bagi pasien.

Penutup
            Malformasi arteri vena kulit kepala walaupun merupakan kasus yang jarang, namun seringkali mengganggu pasien dari segi kosmetik dan manifestasi klinis yang timbul, alat pembantu diagnosa yang paling baik dalam kasus ini dan malformasi umumnya adalah cerebral DSA . Setelah itu dapat didiskusikan beberapa pilihan terapi yang ada seperti embolisasi, pembedahan, maupun radioterapi dengan melihat derajat malformasi yang ada dan kondisi social ekonomi pasien .

Daftar Pustaka

1. Khodadad G. Arteriovenous malformation of the scalp. Ann Surg 1973;177:79-85
2. Shepard RN. Circoid arteriovenous malformation of the scalp. J Neurol Neurosurg
    Psyciatry 1975;8:827-8
3. Badejo L, Rockwood P. Traumatic arteriovenous fistula of the scalp. Case report. J
    Neurosurg 1987;66:773-4
4. Godwin OI,Ayotunde OO. Extracranial arteriovenous malformation of the scalp. The
    Internet journals of radiology. Available at :
5. Satyanarayana N,Raja A. Scalp arteriovenous malformations. Neurology India,2004;2
    pg 478-481.
6. Weinzweig N, Chin G, Polley J, Chabrel F, Showkeen H, Debrun G. Arteriovenous
     malformation of the forehead, anterior scalp and nasal dorsum. Plast Reconstr Surg
     2000;105:2433-9
7. Usman FS. Interventional neuroradiology dan perannya saat ini. Majalah Farmacia,
     2007;7:pg 88-95
8.  Stewart P. Introduction to cerebral digital substraction angiography. Available at :
     http://www. Southernhealth.org.au/imaging/publications/cerebral_dsa.pdf
9.  Kaufmann TJ,Huston J,Mandrekar JN et al. Complications of diagnostic cerebral
     angiography : evaluation of 19.826 consecutive patients. Radiology 2007;243:812-9
10. Cognard C,Spelle L,Pierot L. Pial arterioovenous malformation. In Forstig M (editor)
     Intracranial malformation and aneurysm, Springer, Berlin Heidelberg New York 2004,
     pg -62
11.Smith ML,Sinson GP. Intracranial artiovenous malformation. E medicine, last update
     april 2006.