oleh : Fritz Sumantri Usman Sr ( Dokter-Penikmat musik )
Pendahuluan
Musik merupakan suatu
bentuk kebudayaan yang beberapa dekade terakhir sangat aktif diangkat dan
dijadikan suatu bentuk terapi , di beberapa negara sudah banyak didirikan pusat
pendidikan dan pelayanan musik, terkait dengan beberapa kondisi dari suatu
penyakit khususnya di bidang neurologi. Dan tidak hanya secara institusional
pelayanan musik diberikan, namun saat inipun sudah semakin banyak individu
individu yang meng”kreasikan” sendiri musik atau lagu yang dapat mempengaruhi
dan merangsang mood mereka, sehingga aktivitas pagi hari dapat dimulai dengan
lebih menyenangkan dan efektif dalam membangkitkan rasa optimisme,percaya diri
dan ketenangan , dimana ke tiga perasaan tersebut yang secara umum ternyata dapat
dibangkitkan bila kita mendengar musik atau lagu lagu tertentu ( kondisi ini
sangat individual, silahkan masing masing dari kita mencari tahu lagu lagu apa
saja yang dapat memberikan pengaruh positif pada mood kita)1.
Seperti kita ketahui , betapa musik memiliki arti positif dalam mempengaruhi
perasaan yang ada dalam diri seseorang1, terlepas bahwa ada beberapa
kondisi dimana musik memberikan pengaruh buruk seperti pada keadaan musicogenic
epilepsy ( epilepsy yang dipicu saat mendengarkan music ) , musical partial
seizure ( halusinasi mendengar suara music sebagai manifestasi dari epilepsy
non kejang ) music release hallucination ( seolah olah mendengar suara music,
salah satu kondisi gangguan psikiatri ) , sinesthesia ( halusinasi melihat
suatu warna pada saat mendengarkan music tertentu ), dan amusia ( gangguan
dalam menentukan pengenalan nada serta irama music )2, namun secara
garis besar dan umum , kita sama sama menerima bahwa musik merupakan suatu
bentuk media yang sangat baik untuk mempengaruhi mood seseorang, sehingga dipergunakan
sebagai terapi, baik itu sebagai terapi adjuvant maupun restorasi untuk
beberapa penyakit saraf seperti Parkinson, amnesia, rehabilitasi stroke dan
banyak lagi 3. Artikel ini akan menceritakan bagaimana music yang
kita dengar, akan diolah oleh bagian bagian tertentu dari otak kita hingga
dapat menciptakan perasaan yang menyenangkan kita.
Pembahasan
Musik,
merupakan salah satu bentuk kebudayaan tertua yang pernah lahir di bumi ini .
Tanpa kita sadari musik telah tercipta saat bunyi bunyian diciptakan, baik itu
sebagai bentuk komunikasi maupun hiburan , dan yang lebih menarik , ternyata
eksistensi musik sudah dari awal sangat dekat dengan dunia ilmiah bahkan
kedokteran, karena Pthytagoras menemukan salah satu pemahaman awal matematika
tentang amplitudo dan frekuensi melalui Lyra yang ia petik , dan yang lebih
menarik lagi Dewa Apollo ( salah satu
dewa utama bangsa Yunani ), tidak hanya merupakan dewa di bidang pengobatan,
namun juga dewa di bidang musik.4
Bahkan perkembangan
agama agama besar yang ada di dunia ini, tidak terlepas dari ciri dan
eksistensi masing masing bentuk musik yang mereka miliki seperti Raagas ( Hindu
), Amitabha Sutra ( Budha ), chant Gregorian ( Nasrani ), Tajwid dan Adzan yang
dikumandangkan ( Islam ) semuanya merupakan doa ataupun pujian yang diucapkan
membentuk irama yang indah4. Kesemua hal menarik tersebut, bagaikan
magnet, semakin menarik kita untuk mengerti bagaimana musik di proses dari
sebuah bentuk bunyi bunyian hingga
akhirnya dapat mempengaruhi perasaan / mood seseorang 4,5.
Awalnya , bunyi bunyian
yang masuk ke telinga kita ditangkap oleh kokhlea, dimana frekuensi suara rendah akan merangsang sel sel di
daerah apeks sementara bunyi dengan frekuensi tinggi akan ditangkap di dasar
kokhlea. Kemudian, melalui jaras saraf vestibulo kokhlearis, impuls tersebut
menuju nukleus kokhlearis ventralis di daerah medula oblongata, kemudian
dilanjutkan menuju kolikulus inferior di batang otak melalui jaras lemniskus
lateralis, selanjutnya dari kolikulus inferior impuls suara musik tadi akan
diteruskan ke daerah brakium kolikulus inferior lalu ke korpus genikulatum
medialis dan terakhir di terima di daerah lobus temporalis superior, dan mulailah musik mempengaruhi berbagai
macam bagian bagian di dalam otak kita , seperti amigdala, tegmentum, striatum ,
lobus temporal superior, daerah prefrontal dan beberapa bagian lainnya, seperti
gyrus Heschl yang berperan dalam pengenalan musik yang pernah didengar 6.
Dari
hasil penelitian menggunakan fMRI dan PET scan, didapati bahwa pada saat kita
menikmati music yang kita dengar , maka ventral tegmentum area ( VTA ) akan
menghasilkan dopamine yang kemudian mempengaruhi area kesenangan kita yaitu amigdala
dan nucleus akumbens, dimana semakin intens dan terhanyut kita akan musik yang
sedang kita dengarkan semakin giat pulalah ke 2 area tersebut bekerja, walaupun
ternyata tidak hanya musik saja yang mampu membuat kedua area tersebut
“menyenangkan kita”, sensasi erotis cinta dan addiksi pun menempuh jalur yang
sama seperti halnya musik 7.
Kemudian, ada satu hal
yang menarik, pada saat membicarakan Mozart effect atau Bethoven effect, dimana
kabarnya komposisi dari kedua jenius tersebut yang paling optimal dapat
mengaktifkan dan menstimulus lebih banyak area di sistem limbik dibanding karya
komposer lainnya ataupun lagu pop biasa, karya karya Ludwig von Bethoven seperti String Quartet in C-sharp minor, Op. 131 atau karya Wolfgang
Amadeus Mozart
seperti night music no 1, serenande no 10 in B major,
Ah , Vous direi-JC, simfonie in D, rando in C major,
seringkali di rekomendasikan sebagai komposisi musik yang baik untuk
menstimulus respons otak. Bahkan komposisi klasik popular seperti Air dari Johan Sebastian Bach, dimana alunan melodi dan nuansa yang
dibangunnya sangat indah dan menyentuh ruang ketenangan kita, ternyata bila
dibandingkan dengan komposisi komposisi Mozart
dan Bethoven kurang optimal dalam
menstimulus ke optimalan dari kerja otak kita 8. Pertanyaan tersebut
membuat kita berfikir , mengapa otak kita lebih menyukai partitur ataupun
alunan musik yang “tidak terduga”, cenderung upbeat, tanpa pengulangan bagian bagian dari
komposisi, mengapa otak kita lebih menyukai suatu komposisi yang didalamnya
terdapat perubahan tempo yang signifikan, dengan kata lain dan secara umum kita
dapat mengatakan mengapa musik Mozart dan Bethoven lebih baik dalam menstimulus
otak kita dibanding lagu pop yang lebih menyenangkan perasaan kita 8.
Ternyata hal tersebut juga dipikirkan oleh Leonard Meyer , didalam
bukunya Emotion and meaning in music.
Di buku itu, Meyer menuliskan bahwa setelah melakukan penelitian dari lebih 200
sampel didapatkan bahwa pada saat amygdala dan nucleus akumbens sedang berada
dalam pengaruh dopamine yang tinggi, dibagian lain, nucleus caudatus bekerja menciptakan
suatu fase yang bernama fase antisipasi.
Fase ini timbul sebelum kita merasakan klimak dalam mendengarkan suatu
music/lagu/komposisi, dan bila klimaks itu tercapai maka musik yang kita
dengarkan di akhir lagu selain akan menimbulkan sensasi yang menyenangkan ,
menenangkan, membuat semangat juga meningkatkan metabolisme di otak kita
melalui mekanisme vasodilatasi sistemik dari pembuluh darah otak. Lalu
bagaimana bila musik yang kita dengarkan terdengar monoton, kemudian bagian
bagiannya diulang seperti halnya pakem lagu pop saat ini dimana selalu ada intro,chorus I, chorus II,
refrain,bridge,chorus (lagi), refrain,refrain dan ending, ternyata fase
antisipasi tidak akan terjadi atau minimal, sehingga yang ada hanyalah sensasi yang
menyenangkan , menenangkan, membuat semangat tanpa atau minimal meningkatkan
metabolisme di otak 8,9. Keuntungannya adalah , orang orang dengan
kesadaran penuh, dengan membangun imajinasi dan kenangan akan suatu musik /
lagu tertentu dapat menciptakan fase antisipasi ini, namun hal tersebut tidak
berlaku pada bayi maupun orang dengan derajat kesadaran yang rendah hingga
minimal 10. Dan pada saat fase antisipasi ini telah terlampau dan
kenikmatan kita dalam mendengarkan musik tercapai, tubuh pun merelease
endorphin sebagai adjuvant betapa indahnya musik yang kita dengarkan 8,10.
Penutup
Demikianlah sedikit tulisan mengenai
hubungan otak kita dan musik yang kita dengarkan . Mendengarkan musik, walaupun
sekilas merupakan aktivitas yang sederhana , selain dapat memberikan mood positif,
juga mampu meningkatkan dan menstimulus kerja dari otak kita. Jaras sistem
pendengaran beserta area pendengaran di otak, beberapa bagian dari sistim
limbik, are pre frontal, merupakan daerah daerah yang berperan aktif dalam
menterjemahkan alunan musik yang kita dengarkan, hingga dapat menimbulkan
sensasi sensasi yang berpengaruh pada perasaan dan alam pikir kita.
Daftar Pustaka :
Daftar Pustaka :
- Sachs O, Brust JC. Musical Examples, clinical tales. In
Levietin D,editor. This is your brain on music. Plume 2007, vol 8(7), pg
41
- Brust JC. Music and the neurologist . A Historical
Perspective. Ann N Y
Acad Sci. 2001
Jun;930:143-52
- Arias GM. Music and Neurology. Neurologia. 2007 Jan-Feb;22(1):39-45
- Arrezzo
G. Between myth and history. In Mengozzi S, editor. The renaissance reform
of medieval music theory. Cambridge;Cambridge University Press, 2010, pg
286-9
- Perretz I, Zatorre RJ. Brain organizing for music processing.
Annu Rev Psychol. 2005;56:89-114
- Fix
JD. Auditory system in Neuroanatomy. William & Wilkins 1992, ed. 2, pg
147-150
- Besson M,Schon D,Moreno S,Magne C. Influences of musical
expertise and usical training on pitch processing in musical and language.
Restor Neurol Neurosci. 2007;25(3-4):399-410
- Lehner J. The neuroscience of music. Available at : http://www.wired.com/wiredscience/2011/01/the-neuroscience-of-music/
- Trainor
LJ, Shahin AJ, Roberts LE. Understanding the benefits of musical training
: effect on oscillatory brain activity. Ann N Y Acad Sci. 2009 Jul;1169:133-42
- Corrigal
KA, Trainor LJ. Effect of musical training on key and harmony perception. Ann N Y Acad Sci. 2009 Jul;1169:164-8
Penulis
adalah seorang neurologist dan interventional neurologist yang bekerja di
RSUP Fatmawati Jakarta dan National Brain Centre Hospital Jakarta.
Korespondensi : fritz.sumantri@gmail.com